(This is the Indonesian translation of the original post Frugality: Virtue of The Past, as it was meant to be a tribute to my parents, who will better understand the article in their national language.)
Baru-baru ini saya nganterin anak ke pesta ulang tahun temannya, biasalah, kalau sudah punya anak, kita pada cuma jadi supir atau bodyguard, anak-anak inilah yang menjadi tamunya. Sore itu cuaca panas dan acaranya di ruang terbuka, pas sekali para tamu disuguhi cemilan Es Ganefo – es yang biasanya dibuat dengan membekukan minuman bermacam rasa dalam wadah plastik silinder. Sering juga dikenal dengan sebutan Es Lilin.
Gegara Es Ganefo ini, saya jadi teringat kenangan masa kecil, kenangan baik yang membuat kangen. Oh bukan, saya bukannya sering jajan Es Ganefo semasa kecil, saya lebih sering dengar cerita tentang Es Ganefo. Soalnya Es Ganefo ini obyek ceramah favorit Papa di rumah, semacam kuliah beliau di meja makan.
“Kalian ini tidak sadar diri seberuntung apa ya? Waktu Papa seumur kalian, Papa mesti keliling-keliling berpanas-panas jualan Es Ganefo naik sepeda!”, begitulah Papa memulai ceramahnya, “Yaa elahhh Es Ganefo, Es Ganefo lagiiii…”, pikir kami diam-diam.
Orangtua kami memegang standar yang ketat kalau urusan membelanjakan uang. Seperti umumnya etnis Cina keturunan generasi mereka, mereka besar dalam masa yang sulit. Mereka mengalami dan tau jelas apa itu hidup miskin dan berkekurangan.
“Habiskan makananmu!”
Papa selalu membelikan makanan apa saja yang kami minta, tapi jangan coba-coba menyisakan makanan sehingga terbuang. “Tidak tau bersyukur ya kalian ini, waktu kami kecil, mau makan yang kalian buang ini pun kami tak bisa! Tau tidak, mie pansit pun kami cuma bisa makan setahun sekali!” Belum lagi cerita beliau tentang gulai ikan.. “Kami delapan bersaudara kalau mau makan gulai ikan, cuma bisa beli ikannya satu, minta kuahnya sepanci.”
Soal mainan, Papa sedikitpun tidak melonggarkan standar. Saya masih ingat dua kalinya saya pernah minta dibelikan mainan. Yang satu adalah boneka beruang berwarna ungu saat masih duduk di bangku TK. Berkali-kali kami mendatangi toko kelontong penjual boneka ini, dengan rengekan yang tidak berhenti, akhirnya saya dibelikan juga. Yang satunya lagi adalah Playstation set, kira-kira sewaktu saya kelas 4 SD. Saya dan adik terus-menerus meminta untuk dibelikan Playstation. Setelah lama didesak terus, akhirnya beliau mengalah, tapi bukan tanpa mengomeli kami dengan “Bapakmu tukang cetak duit ya.”
Sering juara kelas itu tidak bisa dijadikan alasan untuk minta dibelikan macam-macam mainan. Nilai bagus untuk mainan? Tujuan pendidikan kami bukan untuk sesuatu yang sedangkal itu.
Segala sesuatu pakainya harus hemat. Kami paling takut kalau Papa sudah mulai merapikan isi lemari TV, biasanya tanpa terduga. Kalau sudah kami lihat Papa mulai beberes, biasanya kami cepat-cepat kabur ke kamar. Tak lama pasti terdengar omelan Papa sambil mengumpulkan banyak penghapus, pensil dan barang-barang kami lainnya yang kami sangka sudah lama hilang dari dalam lemari. “Terus! Beli baru, beli baru terus ya!”
Almarhumah Nenek dari pihak Papa bahkan lebih ketat lagi standarnya. Pernah sekali saya dimarahi beliau karena minta pulpen baru setelah menghilangkan yang lama. “Kecil-kecil sudah royal ya! Besar mau jadi apa?” Padahal juga bukan Montblanc (memang sih anak kelas 2 SD juga tidak kenal Montblanc), cuma pulpen murah yang semua anak tahun 90an pasti pernah punya. “Tuh kan, memang keturunan..”, kami biasa bergosip dengan para sepupu. Kaum Hainan memang katanya menjunjung tinggi nilai berhemat. Tapi untuk anak-anak seperti kami pasti berpikir itu namanya pelit. Tiga sepupu kami bahkan berasal dari kelompok dialek yang lebih hemat lagi dari kaum Hainan. Kami hanya bisa menyelamati mereka, semoga bertahan.
Kami juga dilatih untuk memakai air dan listrik secara teliti. (Setelah bertahun-tahun diomeli, mematikan saklar ketika meninggalkan ruangan itu menjadi kebiasaan yang otomatis, seolah-olah akan ada alarm yang berbunyi kalau lupa mematikan.) Menampung air dalam ember juga umum meskipun kamar mandi kami sudah modern.
“Coba jual kerupuk Jangek ini, baru kalian tahu untuk mendapatkan lima ratus rupiah itu usahanya seberapa.” (Kalau dikurs ke mata uang Singapura saat itu kira-kira senilai 10 sen.) Uang dinilai dengan kerja dan usaha, bukan dari bunga bank ataupun bunga saham, ini pegangan kami ketika membelanjakan uang. Jadi memang “uang hasil keringat” dalam arti sesungguhnya. Dalam enam bulan pertama saya di Singapura untuk studi, berat badan saya menurun sebanyak 8 kg. Sama halnya dengan kedua adik saya, berat badan mereka menurun banyak ketika awal-awal keluar kota melanjutkan studi. Datang dari kota kecil seperti Pematangsiantar, biaya hidup di kota besar, bahkan biaya sekali makan saja, bisa berkali-kali lipat dari normal kami. Wajar kalau kami akhirnya menghemat makan dengan ketat untuk mengurangi rasa bersalah kami yang sudah menghabiskan banyak uang hasil keringat orangtua (tentu saja orangtua sedih ketika tahu kami berbuat demikian).
Dengan begitu banyak omongan tentang bagaimana kami harus hidup hemat, mungkin membuat orang berpikir bahwa Papa seorang kikir yang pantang mengeluarkan satu peser pun. Tapi kebiasaan keluarga kami seminggu sekali untuk makan bersama di luar, dan juga pemakaian uang untuk Mama berbelanja pakaian maupun untuk tujuan amal menunjukkan sebaliknya. Kuncinya mungkin bukan ‘tidak membelanjakan uang’, melainkan ‘memanfaatkan uang secara bijak dan bertanggungjawab’. Sesungguhnya nilai uang itu terletak justru pada penggunaannya, sebab uang yang diam dan tersimpan selamanya itu sama tidak bergunanya seperti talenta yang terkubur dalam perumpamaan Yesus tentang talenta, atau seperti seguci kepingan emas yang terkubur dan akhirnya dicuri dalam salah satu dongeng karangan Aesop, tanpa guna di dalam simpanan.
Adalah bijak untuk mengingat pentingnya uang, tetapi kita pun harus berhati-hati untuk tidak menggelembungkan uang hingga melampaui ukuran sepantasnya. “Ingat, jangan memandang koin uang sampai sebesar roda pedati.”, demikian nasihat rutin Papa. Kalimat inilah yang menjadi penyeimbang terhadap semua ajaran beliau tentang pentingnya uang dan berhemat.
Kini, kami mengelola rumah tangga kami sendiri dan membesarkan anak-anak kami sendiri dalam kehidupan yang cukup nyaman di Singapura. Mungkin tidak lagi ada keperluan untuk hidup berhemat. Hemat itu tidak gampang, tidak nyaman, dan tidak menyenangkan. Tapi kita sejatinya sedang melakukan pembodohan terhadap diri dan anak-anak kita kalau kita berpikir dan mengajarkan bahwa hidup hemat dan beririt itu hanya respon semata terhadap masa sulit. Rasa berkecukupan, bersahaja, pengendalian diri, pemakaian sumber daya yang bertanggungjawab, dan tenggang rasa terhadap kaum tak berpunya yang dipupuk melalui kebiasaan hidup irit, uang lebih yang boleh disisihkan dari hidup berhemat untuk tujuan amal; kebajikan-kebajikan seperti inilah yang menjadikan kita manusia yang lebih baik. Seperti kata William J. Bennett, anak-anak (manusia) itu pada dasarnya adalah makhluk moral dan rohani, dan inti dari pendidikan adalah nilai-nilai kebajikan.
Orangtua yang memaksa dan melatih anak-anaknya untuk hidup irit mungkin bukan orangtua yang disenangi (untung saja mereka tidak mempermasalahkan suka tidaknya kita kepada mereka). Setiap didikan memang sepertinya tidak menyenangkan pada saat diterapkan, namun seiring waktu ia menghasilkan buah kebenaran dan damai bagi mereka yang dilatih olehnya (kitab Ibrani 12:11). Melihat ke belakang, saya mensyukuri dan mengagumi dedikasi orangtua dalam menerapkan hidup hemat dan sikap irit. Semoga saya pun bisa mewariskan kebajikan ini kepada generasi selanjutnya.
“Isilah pikiranmu dengan semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan yang terpuji.” – Rasul Paulus, kitab Filipi 4:8